Untuk Ayah
Tiara menatap kalender yang ada di depan meja belajarnya. Tanggal 21 Oktober. Itu berarti sudah ketigakalinya Tiara gagal memberikan sesuatu yang berharga sebagai hadiah ulang tahun ayahnya. Tabungan yang ia kumpulkan sejak setahun lalu terpaksa ia gunakan untuk keperluan yang sangat mendesak. Meskipun ia tahu, ayahnya tidak penah menghendaki apalagi meminta hadiah pada ulang tahunnya, Tiara selalu mempunyai niat tulus untuk menyenangkan hati ayahnya dengan sebuah hadiah ulang tahun. Tahun ini adalah ulang tahun ayahnya yang ke 49. Satu tahun lagi ayahnya ulang tahun emas.
cerpen untuk ayah |
“Biarlah tahun ini aku gagal memberikan hadiah ulang tahun kepada ayahku. Tapi aku berjanji akan memberikannya tahun depan,” kata Tiara pada dirinya sendiri. "Tentu akan sangat istimewa karena kelak merupakan hari ulang tahun emas baginya.” Sambung Tiara dalam hati.
Bagi seorang anak yang hanya tinggal dengan ayah, memang terasa sangat tidak adil baginya. Belaian kasih seorang Ibu yang sangat ia rindukan selalu membuatnya larut dalam lamunan berbasuh air mata. Ia tahu betul ayahnya yang berjuang seorang diri untuk menghidupinya. Tetapi mungkin tak akan terlalu berat untuk mengurus seorang gadis yang baru lulus SMA ini. Namun tetap saja, semua seakan begitu sulit ketika hanya bisa tidur di sebuah petak berukuran lima kali tiga meter di antara gang-gang sempit di daerah Bandung itu. Tiara selalu berusaha untuk tidak menyusahkan ayahnya itu. Uang yang telah ia kumpulkan selama satu tahun untuk ayahnya itu, akhirnya ia pergunakan untuk biaya masuk kuliah.
Setiap pagi, ketika orang-orang masih terlelap dalam kasur yang nyaman dan hangat, ayah Tiara harus sudah bergegas untuk pergi ke tempat dimana ia mengadu nasib. “HATI-HATI! PERLINTASAN KERETA API” itulah yang tertera dekat pos yang selalu ayahnya tuju. Ya, ayahnya seorang penjaga palang pintu kereta api. Sudah sejak lama ayahnya bekerja melakoni profesi itu. Seiring bertambahnya usia, ayah Tiara hanya mengambil shift pagi saja, dan kemudian pulang menjelang maghrib. Tubuhnya yang kian menua sudah tak kuat lagi jika harus bergadang semalaman diterpa hembusan angin malam yang sangat menusuk. Terlebih jam tidur nya jadi tidak teratur. Akan buruk nantinya jika ayah Tiara jatuh sakit dan tidak bisa masuk kerja. Memang betul pula jika gaji yang ayahnya dapat setiap bulan tidak terlalu besar dan terkesan pas-pasan, namun tetap saja sangat berarti dibandingkan harus jadi pengangguran. Disamping itu, ayahnya selalu bangga akan pekerjaannya karena ditangan nya lah nyawa orang-orang dipertaruhkan. Dapat mencegah seseorang mengalami kecelakaan, rasanya bagaikan menjadi superman yang ada film layar lebarnya itu.
Untuk pergi bekerja, ayah Tiara selalu menaiki sepeda usang yang sudah bertahun tahun menemaninya. Seringkali Tiara meminta ayahnya itu untuk membeli yang baru, atau naik bus saja agar lebih cepat. “Tak apa nak, masih bisa dipakai ko. Biar sehat juga, itung-itung olahraga sama ngurangin polusi. Naik bus macet! Ayah kurang suka.” Jawab ayahnya pada Tiara. Dibalik semua itu, ada alasan yang ayahnya selalu sembunyikan yaitu dengan menaiki sepedah, ayahnya bisa mengirit ongkos dan menyisihkannya ke dalam kaleng kue khong guan yang ia jadikan sebagai celengan untuk masa depan Tiara. Tiara pun sadar, ayahnya pasti sangat kelelahan jika setiap hari harus bersepedah sejauh 20 km jaraknya. Kaos yang basah oleh keringat sesampainya di rumah menjadi buktinya. Apalagi kalau hujan tiba, ayahnya bisa saja basah kuyup akibat hujan yang tak henti-henti dan memaksanya menembus hujan karena sudah lama menunggu untuk redanya.
“Nak, ayah pergi duluan ya. Yang semangat nanti kuliah nya, jadi anak yang baik!” ucap ayahnya ketika Tiara mencium tangan ayahnya itu. Tak lama, ayahnya pun berangkat sebelum adzan shubuh bekumandang. Ayahnya memang terbiasa sholat shubuh di pos jaga atau di mesjid yang ia lewati saat di jalan. Pandangan Tiara terus tertuju pada ayahnya hingga ujung jalan menghalanginya. Dalam benaknya ia berkata “Apa aku belikan motor saja ya untuk ayah?” ide itu terlintas begitu saja. Tiara rasa, itu memang hadiah yang palig cocok untuk ulang tahun ayahnya yang ke 50 itu. Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, Tiara bergegas besiap untuk hari pertama ia masuk kuliah.
Rasa percaya diri, semangat, dan senang lah yang ia rasakan pagi itu. Kemeja bergaris vertikal dan celana panjang hitam dipadukan dengan sepatu converse yang selalu ia pakai menjadi pilihan nya untuk hari yang ia tunggu-tunggu ini. Jam sudah menunjukan pukul 05.30. “Duhh, kayanya aku kelamaan siap-siap deh. Telat sedikit bisa kena macet berjam-jam nih.” Gumam Tiara. Tanpa pikir panjang, Tiara menarik tas nya yang ada di kursi dan langsung berangkat kuliah.
***
Tiga bulan sudah Tiara menyisihkan uang jajannya untuk tabungan hadiah ulang tahun ayahnya. Tetapi, jika hanya mengumpulkan dari uang jajan saja mana cukup. Keperluan nya saja banyak, terkadang uang nya habis hanya untuk memfoto copy tugas dan lain-lain. Ia coba memutar otak bagaimana caranya agar ia bisa cepat mengumpulkan uang. Ia bertanya sana sini meminta saran dari teman-temannya. Sampai ia mendengar “Pergi aja ke Danis Kanjeng.” Ucap salah satu temannya dengan nada bercanda lalu tertawa. “Siapa dia?” dalam hati Tiara bertanya. Rasa penasarannya itu langsung membuat nya mengeluarkan handphone untuk searching di google. Banyak sekali ulasan tentang Danis Kanjeng yang ia baca hingga ia menemukan video tentang kesaktian Danis Kanjeng. Kesaktian dimana orang itu dapat mengandakan uang dengan cepat. Saat menonton video itu, Tiara nampak serius melihatnya. Pikirannya seakan tersihir dan tak dapat berpikir secara logis. Entah apa yang mempengaruhi dan merasukinya, sampai akhirnya ia pecaya akan kesaktian Danis Kanjeng dan langsung mencari tahu tentang keberadaannya. Persis bagaikan seorang anak kecil yang diiming-imingi permen dan gulali kesukaannya.
Alamat yang ia temukan di internet, esok harinya langsung ia kunjungi dengan membawa uang tabungan untuk ayahnya. Satu hal yang ia pikirkan, “Jika uang ini berhasi jadi dua kali lipat, aku pasti bisa lebih cepat beliin ayah motor.”
Saat tiba di sana Tiara bertemu dengan sesosok laki-laki memakai pakaian seperti jubah dengan tubuh yang gempal. Itulah Kanjeng Danis yang ia lihat aksinya di media sosial itu. Tempat yang cukup mewah dan dihiasi berbagai barang antik semakin membuat Tiara percaya akan keahliannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menceritakan keluh kesahnya dan langsung memberikan uang untuk digandakan. Kanjeng Danis menjanjikan bahwa uangnya akan menjadi dua kali lipat setelah satu pekan berlalu.
Sungguh malang memang, baru 3 hari berlalu dari hari itu Tiara sudah nampak sadar betapa bodohnya ia. “Mana ada yang bisa gandain uang?” pikirnya saat itu. Rasa sayang dan keinginannya untuk membelikan hadiah ulang tahun itu ternyata cukup kuat dan mampu menyilaukannya meskipun hal itu baik. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, ia sudah menyerahkan semua uang tabungannya itu. Satu hal yang bisa ia lakukan, berharap setidaknya uang nya itu dapat kembali utuh seperti semula.
Seminggu berlalu, dengan rasa cemas Tiara kembali ke tempat dengan barang-barang antik itu. Berbeda dengan sebelumnya, kini ia malah diusir dan dimarahi sebelum masuk oleh satpam yang berjaga. Kini ia benar-benar sadar ia sudah tertipu.
“Pak, saya yang kemarin ke sini. Saya mau ambil uang saya.” Ucap Tiara. Tak ada yang percaya, seakan semua satpam hilang ingatan dan bantahanlah yang Tiara dapat. Marah bercampur penyesalan yang dalam ia rasakan saat itu, hingga ia seakan tak sanggup menopang tubuhnya sendiri dan akhirnya meneteskan air mata.
Tiara hendak melaporkannya ke pihak berwajib atas tuduhan penipuan. Namun rasanya ia ragu. Kali ini ia berpikir panjang sebelum bertindak. Ia memikirkan akibat kedepannya nanti. Selain semuanya akan menjadi masalah yang panjang, bisa saja malah ia yang masuk penjara karena tuduhan pencemaran nama baik. Dan keputusan yang ia pilih akhirnya merelakan uang itu dan kembali pulang.
***
“Aku memang bodoh! Dasar bodoh!” Tiara memukuli kepalanya sendiri di kamar sambil menangis. Tanpa disadari ayahnya mendengar hal itu. Tok tok tok. “Ada pa nak? Kau baik-baik saja?” Tanya ayahnya dari luar. “Tidak apa yah, aku hanya sedang mengerjakan tugas. Tolong jangan diganggu ya.” jawab Tiara dari dalam kamarnya. Untuk sesaat, suasana menjadi hening setelahnya.
Tak ingin terlalut dalam penyesalan, Tiara mengumpulkan keberanian dan ia coba untuk memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan yang ia perbuat. Ia tahu masih belum terlambat untuk mengumpulkan uang. Tetapi waktu semakin dekat. Ia tak mungkin mengandalkan tabungan dari uang jajan sisanya itu. Dalam lamunan ia mendapat jawaban. “Kalo butuh uang ya kerja. Ya! Aku harus cari kerja.” ucap Tiara. Sebenarnya ia sedikit ragu akan hal itu, sebab ia masih punya tanggung jawab untuk kuliah. Tetapi dalam pikirnya mungikn inilah jalan terbaik. Selain itu, mungkin ia bisa mendapatkan pengalaman bagaimana rasanya mencari uang sendiri. Sampai akhirnya angannya mengantar ia terlelap malam itu.
Keesokan harinya, Tiara sibuk membaca Koran untuk mencari lowongan pekerjaan. Ada banyak sekali memang, tetapi kebanyakan tidak cocok untuk seorang mahasiswi yang tidak mengambil kelas karyawan. Waktu lah yang menjadi hambatan. Ia sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang dapat bekerja paruh waktu. Sampai akhirnya matanya tertuju pada satu pengumuman lowongan pekerjaan di sebuah café. Disitu tertulis bahwa pihak café hanya membutuhkan asisten pelayan untuk di jam-jam sibuk saja. Dan kebetulan waktunya tepat setelah Tiara pulang kuliah. Tiara pun langsung menelpon nomor yang tertera di koran itu. Dan memang benar, ternyata lowongan pekerjaan itu masih dibutuhkan. Ia merasa senang sekali, entah apa yang bisa menggambarkan kesenangannya itu.
Setelah menemui atasan café itu, Tiara resmi bekerja paruh waktu di tempat itu. Dan langsung dapat memulai kerja hari itu juga. Kemeja putih dan rok hitam menjadi seragamnya saat itu. Tak lupa name tag bertuliskan “Trainee” ia pakai karena masih baru bekerja. “Baiklah Tiara, sekarang kamu bisa langsung bekerja. Kedepannya kamu akan dibimbing oleh dia. Kamu bisa bertanya apapun sesukamu. Tapi saya harap kamu bisa belajar dengan cepat.” atasan café itu memperkenalkan Tiara dengan seorang perempuan yang sudah lama bekerja di café itu. “Baiklah pak, saya akan bekerja semaksimal mungkin.” Jawab Tiara dengan percaya diri. “Bagus, kalau begitu saya tinggal dulu ya. Selamat bekerja.” atasan café itu langsung pergi.
“Kenalin, nama aku Yesika.” Ucap pegawai itu sambil mengulurkan tangan kananya. “Aku Tiara.” jawab Tiara sambil mengenggam tangan kanan wanita itu. “Oke Tiara, kamu bisa panggil aku mba Yesi atau apa saja. Tidak usah sungkan, anggap saja akau temanmu.” Yesika berkata.
Dari perkenalan itu, Tiara merasa bahwa mba Yesi orang yang ramah dan mudah bergaul. Meski usianya diatas Tiara tetapi ia dapat menyesuaikan diri dan nampak seperti teman seangkatan. Banyak hal yang mba Yesi ajarkan pada Tiara, mulai dari pengenalan menu, etika melayani pelanggan, dan masih banyak lagi. Hari itu memang merupakan hari yang cukup besar baginya. “Semangat ya, di awal memang agak cukup membingungkan. Lama kelamaan juga terbiasa ko.” Ucap Yesika pada Tiara. Dengan ucapan mba Yesi itu, Tiara menjadi lebih semangat untuk bekerja.
Hari demi hari Tiara lalui. Benar saja, ia kini sudah terbiasa bekerja di café itu. Hubungan pertemenannya pun semakin dekat dengan mba Yesi. Mereka sudah saling mengenal dan bayak hal yang sudah mereka ketahui tentang pribadi masing-masing. Ya, mereka memang sering kali mengobrol dan curhat satu sama lain.
Tak bisa dipungkiri memang, selama bekerja Tiara seringkali merasa kelelahan. Hingga akhirnya ia lalai dalam kuliahnya. Seringkali ia telat mengumpulkan tugas dan bolos karena habis lembur. Tak bisa dianggap sepele, karena hal ini bisa saja membuat Tiara harus mengulang semester atau bahkan dikeluarkan dari kampus. Tiara cukup frustasi memang, untung saja tidak ditambah dengan masalah percintaan yang lebih rumit lagi. Semua keluh nya itupun ia ceritakan pada mba Yesi, “Mba, aku harus bagaimana sekarang? Kuliahku terancam.”dengan nada sedih ia bertanya.”Itulah resikonya, memang benar jika kita harus memilih salah satu. Kita tidak dapat duduk diantara dua kursi, atau kita akan jatuh nantinya. Harusnya dari awal kamu bisa berkomiten.” Nasihat mba Yesi memang benar. Tapi hal itu tetap tak bisa membuat Tiara tenang, ditambah kekhawatiran akan ayahnya jika ayahnya tahu Tiara tidak berkuliah dengan baik.
“Sudah, nih minum dulu.” Mba Yesi memberikan segelas air pada Tiara. “Terimakasih mba.” Ucap Tiara yang kemudian meminum air itu. “Minuman apa ini mba?” Tanya Tiara. Entah bagaimana bisa Tiara merasa lebih tenang setelah meminum air itu. “Sudah jangan banyak Tanya.” jawab mba Yesi. Tiara rasa memang tak terlalu penting, setidaknya ia merasa lebih baik saat itu.
Berawal dari masalah itu, semakin lama di setiap masalah Tiara selalu datang pada mba Yesi. Menceritakan semuanya dan merasa lebih tenang setelah meminum air dari mba Yesi. Meski tidak menyelesaikan masalah, setidaknya Tiara merasa lebih tenang setelahnya. Itulah yang ia pikirkan.
***
Penantian Tiara kini sudah selesai, uang yang ia kumpulkan sudah cukup untuk membeli sebuah motor sederhana untuk ayahnya itu. Dan kini sepulang kuliah, show room motor lah yang ia tuju. Dengan uang yang telah ia kumpulkan akhirnya ia mendapatkan hadiah untuk ayahnya itu. Tiara pun berpesan agar motor itu diantar saat hari ulang tahun ayahnya nanti.
Pekerjaan yang selama ini memberikan nya uang, kini ia tanggalkan. Ia memilih untuk lebih fokus dan memperbaiki kuliahnya. Dan mba Yesi mendukung keputusannya itu, ia pun ikut senang. “Kalau ada perlu apa-apa datang saja ke sini ya, mba ada ko di café.” Ucap mba Yesi saat Tiara berpamitan kepadanya. Ya, ini bukanlah akhir dari sebuah pertemanan.
Semuanya berjalan baik di kemudian hari, namun jalan hidup memang tak selalu mulus. Karena kebiasaannya meminum air dari mba Yesi menjadikan Tiara kecanduan, dan sebenarnya Tiara sudah tahu apa yang ia minum. Aspat lah yang menjadi campuran air yang ia minum itu. Sempat terjadi penyesalan yang besar dirasakan mba Yesi maupun Tiara. Mba Yesi yang bermaksud hanya ingin membantu dan Tiara yang tidak tahu apa-apa. Tapi waktu tak dapat terulang, hidup harus terus berlanjut.
Dengan ketergantungannya itu Tiara mencoba menjalani hidup seperti biasanya. Di setiap pagi ayahnya berkata “Nak, ayah pergi duluan ya. Yang semangat nanti kuliah nya, jadi anak yang baik!” ucap ayahnya ketika Tiara mencium tangan ayahnya itu. Pandangan Tiara terus tertuju pada ayahnya hingga ujung jalan menghalanginya. Tiara hanya berharap “Tuhan, lindungi ayahku. Berikan ia kekuatan untuk menjalani semua ini. Bahagiakanlah ia di setiap detik kehidupannya.”
Seperti jalan ke Arjasari yang berliku, Tiara kembali menemukan tikungan yang cukup tajam. Ia kini tak dapat menahan ketergantungan nya itu. Seakan akan ia dapat melakukan apa saja agar keinginannya itu terpenuhi. Sungguh malang memang, ia harus mengakhiri hidupnya karena mengalami over dosis aspat itu. Mulutnya mengeluarkan busa dan ia terkapar di lantai kamarnya saat ayahnya pulang seusai kerja. Hal ini tentu tak dapat membendung tangisan seorang ayah yang hanya memiliki seorang anak. Kebanggaan satu-satu nya itu kini harus pergi untuk selamanya. Meninggalkan kenangan.
Tentu saja, berita tentang kematian Tiara itu dengan cepat menyebar luas dari mulut-mulut tetangga. Hingga sampai ke telinga Mba Yesi. Entah apa yang mba Yesi rasakan, mungkin seperti pukulan keras Mike Tyson yang menghujam dadanya. Ia tahu persis semuanya berawal dari dirinya. Dengan perasaan bersalah itupun ia berziarah ke makam Tiara. Di atas batu nisan itu mba Yesi mengangis meminta maaf “Ini salahku. Maafkan aku Tiara.” Derasnya air mata mba Yesi membasahi pipinya.
Di sisi lain, rumah Tiara sangat sepi setelah kepergiannya. Ayahnya nampak tak punya semangat untuk melanjutkan hidup. Di rumahnya itu, ayahnya selau teringat akan kenangan bersama Tiara.
***
21 Oktober. Hari yang selama ini Tiara tunggu-tunggu. Ayah Tiara tidak menyadari saat itu adalah hari ulang tahunnya, karena baginya semua hari sama saja tanpa kehadiran putri tercintanya. Tok tok tok. “Perimsii.” Seseorang nampak datang mengetuk pintu rumah Tiara. “Ya, sebentar.” Jawab ayah Tiara yang bergegas membukakan pintu rumahnya. “Ada apa ya pak?” Tanya ayah Tiara. “Saya hanya ingin mengantarkan ini pak, motor atas nama Bapak Gatot.” Jawab seorang petugas showroom motor. Ayah Tiara tercengang dan merasa heran. Ia tidak merasa sudah membeli motor dan mencoba menjelaskannya pada petugas itu. “Waktu itu yang datang kepada kami memang bukan bapak, melainkan seorang perempuan seperti anak kuliahan. Alamat yang diberikannya pun memang benar disini ko.” Jelas si petugas.
Setelah menerima kiriman motor itu, ayah Tiara masuk ke kamar Tiara. Ia duduk di meja belajarnya, seakan merasakan dan membayangkan kehadiran Tiara di kamar itu. Buku-bukunya masih berderet rapi. Ayah Tiara kemudian mencoba mengambil bingkai foto di atas meja itu. Ia sangat merindukan putri nya itu. Dan ternyata, sesuatu terjatuh saat ayahnya mengambil bingkai foto itu. Sebuah surat yang telah Tiara tulis untuk ayahnya sebelum ia meninggal dan ia simpan di bawah bingkai foto.
Untuk Ayah..
Ayah pasti ingat sekarang hari apa. Hari ulang tahun ayah. Maafkan aku ya ayah, di ulang tahun sebelumnya aku tidak sempat memberikan ayah hadiah. Tapi kali ini aku punya sesuatu untuk ayah. Nanti akan ada seseorang yang mengantarkan nya ke rumah. Aku harap ayah suka dengan hadiah dariku itu. Aku tahu, ayah pasti kelelahan jika setiap hari harus bersepedah ke tempat kerja. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa ayah bohongi. Hehe Akhir-akhir ini juga sering hujan, jika naik sepeda pasti akan lama di jalan.
Sekali lagi, Selamat ulang tahun ya ayah. Di ulang tahun emasmu ini semoga ayah mendapakan kebahagiaan yang tiada tara. Aku harap ayah sehat selalu. Terimakasih selama ini ayah sudah membesarkanku dengan kasih sayang. Dan maaf, jika aku selalu merepotkanmu. Satu hal yang pasti, aku selalu sayang ayah.
Tiara.
Senyum haru tergores di bibir ayah Tiara. Namun pahit rasanya menyadari kenyataan bahwa Tiara sudah tiada. Yang akhirnya surat itu basah dihujani airmata. “Nak, ayah ingin sekali bertemu denganmu. Kenapa kamu meninggalkan ayah?” ucapan itu beradu dengan isak tangis ayahnya. Timbul perasaan setidaknya di saat-saat terakhir Tiara, ayahnya ada di samping Tiara. Namun apalah daya. Kini sang ayah hanya tinggal sendiri di sebuah petak berukuran lima kali tiga meter di antara gang-gang sempit di daerah Bandung itu.
Kesempatan untuk melanjutkan hidup masih ada. Walaupun menjalaninya terasa hambar bahkan pahit. Namun hal itu sudah tidak dihiraukan lagi olehnya. Sudah tidak ada keinginan apapun yang ingin dicapai pria setengah abad itu.
Pagi ini, terasa berbeda bagi ayah Tiara. Selain tak ada lagi yang mencium tangannya sebelum ia berangkat kerja, kini ada motor yang kemarin baru sampai. Untuk pertama kalinya, ayah Tiara menyusuri gang-gang itu dengan suara lebih bising dari biasanya. Kini ia berada diantara kendaraan yang mengantri di lampu merah. Dan tepat di jalan Pasteur, suara gemuruh air tiba-tiba mengganggu telinganya. Hanya sempat unuk menengok sebelum banjir bandang menerjang jalan itu dan ayah Tiara pun hanyut terbawa derasnya arus hingga nyawanya tak dapat tertolong.
Incoming Search Terms :
No comments